|
Menuntun Sepeda |
Panggil dia Pak Didi. Seorang lelaki yang di hari tuanya lebih memilih menjadi tukang ojek sepeda. Pria bernama asli Tarmidi ini sudah berusia 68 tahun. "Badan saya sepertinya sudah tidak kuat untuk menjadi tukang pengantar barang di toko tempat saya terakhir bekerja" begitu lelaki yang hidup menduda ini mengawali kisahnya. Menurutnya, sebelum ia beralih menjadi tukang ojek sepeda, ia menjadi pegawai pada sebuah toko di kawasan Kota. Tapi karena usia yang semakin bertambah dan dia merasa sudah tidak kuat (secara fisik)
untuk mengangkat dan mengantar barang, maka tiga tahun lalu ia akhirnya minta berhenti bekerja. Padahal ia sudah puluhan tahun bekerja di toko tersebut. Uang pesangon yang diterimanya saat ia mengundurkan diripun tak seberapa. Sempat tak mempunyai pekerjaan tetap, dirinya sempat mencoba menjadi pedagang kain pembersih Kanebo di lampu merah kawasan Kota. Namun, dari hasil berdagang kain lap tersebut, ia merasa pendapatannya tak beranjak naik, sementara ia harus menghidupi dirinya sendiri. Anak-anaknya yang sudah pada menikah sempat melarang lelaki yang di masa mudanya di panggil Bang Mek ini untuk bekerja kembali. Tapi Pak Didi keberatan dengan larangan tersebut. Dan akhirnya ia memilih menjadi tukang ojek sepeda di kawasan Stasiun Kota Jakarta.
|
Pak Didi dengan sepeda ontelnya. Sepeda yang menjadi sandaran hidupnya saat ini |
Lelaki kelahiran daerah Guntur Senen Jakarta ini, pun berkisah kesehariannya menjadi tukang ojek sepeda. Mengayuh sepeda ditengah terik panas bahkan hujan, ia tetap mengais rejeki dengan sepedanya. Bermodal sepeda ontel, ia biasa mangkal di depan Museum Mandiri. Tak henti-hentinya ia menawarkan kepada orang yang lewat untuk diantar ke tempat tujuan yang diinginkan dengan sepedanya. Walau kadang ia harus kecewa, karena beberapa calon penumpang lebih memilih ojek motor daripada ojek sepeda, ia tetap tak putus asa. "Ya, namanya belum rejeki deh" ujarnya dengan logat Betawi. Suaranya masih gagah, kulit legam karena terkena sinar matahari sudah menunjukan beberapa keriput di wajahnya. Tapi dirinya tetap semangat.
|
Tak jarang ia harus menuntun sepeda, karena jalan yang tak mulus |
Ia memang tidak setiap hari menarik ojek sepedanya. Tapi jika hari Jumat hingga Minggu, ia selalu berusaha untuk tetap narik. "Hari-hari itu pas rame Bang, apalagi kalo Sabtu Minggu, lebih rame" ia beralasan. Tapi kadang bisa juga seminggu penuh saya narik, tergantung badan deh, maklum udah tua, lanjutnya sambil tersenyum. Sekitaran stasiun Kota, Tanah Pasir, Rawa Bebek, Pasar Ikan, Luar Batang, Muara Baru dan terjauh Kampung Bandan adalah wilayah yang sering menjadi tempat tujuan penumpangnya. Sehari dapat berapa Pak Didi ? tanya penulis. "Ya kalo lagi rame sehari Rp. 50.000, bahkan pernah saya dapat Rp. 100.000, tapi sekarang agak susah dapetin segitu, kalah saingan sama ojek motor" tuturnya. Naik ojek sepeda dengan tujuan terdekat dihargai Rp. 5000,-. terjauh (seperti wilayah Kampung Bandan ia menawarkan jasa ojeknya dengan harga Rp. 20.000,-. itupun kadang masih ditawar oleh penumpang.
|
Dibalik lengannya |
Menurut Pak Didi, penumpang ojek sepedanya kebanyakan adalah penduduk sekitar dan orang-orang yang berwisata di daerah Kota Tua. Tak jarang juga wisatawan asing menggunakan jasa ojeknya. "Pernah Bang, dulu saya di sewa seharian untuk antar orang Jerman, keliling daerah Kota, itu orang Jerman motoin bangunan tua, saya juga ikut ke foto sama dia, foto saya sih sudah sampai Jerman, orangnya belum" ujarnya sambil terbahak. Bahkan pernah juga ia seharian malah tidak dapat penumpang. Padahal ia sudah berjam-jam menunggu calon penumpang, tapi tidak ada yang naik. Antara sepeda dengan usia Pak Didi rasanya hampir setara. Sepeda tua tapi masih gagah, bersih mengkilat, walau di beberapa bagian sudah banyak karat. Sebelum berangkat narik ojek, dia selalu membersihkan sepedanya. Lalu bekal yang selalu dibawanya dalam satu kantung plastik itu berisi kopi, air mineral, topi, payung dan jas hujan. Bekal yang selalu dibawanya dari rumah. Saat ini ia tinggal di wilayah Depok. Sementara sepeda ia titipkan di parkiran depan Stasiun Kota dengan biaya titip Rp. 50.000 per bulan. Jadi dia pulang pergi menggunakann jasa kereta Comuter Line sebagai transpotasinya. "Saya dulu pernah tinggal di daerah Tanah Pasir, tapi dulu pernah kebakaran dan rumah saya salah satu yang ikut terbakar" dirinya berkisah tentang rumahnya dahulu. Sempat mengkontrak rumah dan berpindah-pindah, membuat dirinya terpacu semangatnya untuk memiliki rumah sendiri. Dengan usaha keras, akhirnya ia bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah kecil diatasnya. "Yah, lumayan deh Bang, kecil tapi rumah sendiri, daripada ngontrak, diusir-usir mulu, bisa beli tanah juga pas ada bagian warisan ditambah sama uang hasil nabung" tuturnya.
|
Sebuah bayangan |
Pak Didi gak mau menikah lagi ? seru penulis di tengah perbincangan. "Ya kepengin sih, tapi kayaknya belum ada yang mau, abis kerjaan saya cuma kayak gini, penghasilan juga gak pasti" suaranya agak lirih ketika menjawab pertanyaan ini. Penulis pun tak berpanjang lebar menanyakan hal ini lebih lanjut.Dan akhirnya, penulis pun mengajak dirinya untuk berkeliling dengan sepedanya. Dikayuh sepedanya menyusuri jalanan. Kadang ditengah kemacetan, ia turun dari sepedanya, sementara penulis tetap duduk dijok belakang. Ditengah dirinya mengayuh, kadang terdengar nafas yang agak sesak, nafas yang berat. Penulis hanya bisa berkata dalam hati, mungkin inilah hidup, seberat apapun, kondisi apapun memang tetap harus dijalani tanpa harus berkeluh kesah dan menyerah. Itu juga yang terjadi pada Pak Didi, dia tahu jika usianya sudah tua, namun ia tetap harus menjalani hidup ini dengan segala permasalahannya. Dia harus membiayai hidupnya sendiri, tanpa harus bergantung pada anak-anaknya. Sejujurnya, ada rasa khawatir dengan kondisi Pak Didi saat ia mengayuh sepeda. Tak terbayangkan oleh penulis, dia harus mencari nafkah dengan berpanas matahari, mengayuh sepeda, bahkan harus turun dan menuntun sepedanya ketika bertemu tanjakan. Belum lagi keringat yang membasahi wajahnya, sesekali ia menyeka keringat tersebut dengan handuk yang sudah lusuh. Tak perduli dengan asap knalpot dan segala polusi yang ada. Dia tetap bersemangat mengayuh sepedanya sebagai sandaran hidupnya. Begitulah, kisah Pak Didi, seorang tukang ojek sepeda. Semoga tulisan ini lebih membuat penulis bersyukur dengan segala apa yang penulis dapat. Amin.
|
Pak Didi saat menawarkan jasa ojek sepedanya |
|
Istirahat Sejenak |
|
Kartu Tiket Comuter Line milik Pak Didi |
|
Potrait Pak Didi |
|
Penulis bersama Pak Didi |
Foto dan Tulisan : Farid S
Baca Juga :
Senandung Foto Jakarta Juga Punya Laut Indah
No comments:
Post a Comment