Apapun kebisaan kita, tentu banyak hal yang bisa kita lakukan demi mempertajam kebisaan tersebut. Berbagi ilmu tentu saja tidak akan mengurangi sedikitpun ilmu yang kita punya. Justru semakin banyak saja yang kita dapat. Begitu juga dengan fotografi. Sebisa mungkin saya pribadi mencoba berbagi dengan siapa saja yang memang ingin belajar fotografi. Sejujurnya, ilmu saya tidak terlalu tinggi dalam dunia fotografi, dibanding dengan mereka yang justru belajar (fotografi) belakangan. Namun, ketika bertemu dengan Arbain Rambei, Oscar Motullah, Gunadi Haryanto, Don Hasman, Suhery Arno, dan beberapa fotografer senior lain dan mendengar cerita mereka saat awal belajar fotografi. Hati ini begitu tergerak. Tergerak dengan loyalitas mereka di dunia fotografi. Walau dengan latar belakang yang berbeda ketika mempelajari fotografi, namun akhirnya mereka bertujuan sama, memajukan fotografi Indonesia. Saya bukan siapa-siapa dan tak terlalu bisa dalam dunia fotografi. Namun sebisa mungkin saya terus belajar, belajar dan belajar. Dari hal-hal yang saya ketahui, saya mencoba berbagi dengan teman-teman yang ingin belajar fotografi. Walau sedikit, setidaknya saya ingin berbagi. Dan mudah-mudahan dari berbagi ilmu ini, ilmu saya pun bisa semakin bertambah. Karena biar bagaimanapun, satu generasi akan tergerus dan tergantikan oleh generasi berikutnya. Selamat belajar fotografi.
Senandung merupakan sebuah ungkapan. Kala sedih dan gembira, biasanya orang akan bersenandung. Begitu juga dengan saya, akan tetap bersenandung lewat fotografi
Photo
Tuesday, 4 October 2011
Monday, 21 February 2011
Suatu Sore........
Babe Joni (62)
Pak Udin, memulai memulung di usia 10 tahun
Seorang suami sedang menunggu istri dan anaknya
Seorang suami sedang menunggu istri dan anaknya
Menyusuri sudut Jakarta sore itu membawa kaki ini melangkah pada suatu tempat yang jauh dari keramaian. Sekedar ingin menghilangkan penat dari rutinitas, akhirnya membawa pikiran dan keingintahuan tentang apa dan siapa mereka. Mereka mungkin sering dicemooh bahkan dihina. Tak jarang bahkan pengusiran pun kerap dilakukan terhadap mereka. Dan mereka pun merasa sebagai yang terpinggirkan. Menjadi pemulung mungkin bukan hal yang diidamkan oleh mereka. Keadaan, keterbatasan, bahkan kemampuan merkalah yang akhirnya menjalankan profesi ini. Ditengah karut marut di negeri yang katanya berlimpah kekayaan alam, mereka seolah berjuang sendirian sesama komunitasnya. Berjuang untuk tetap hidup, berjuang mencari nafkah untuk keluarganya hanya dengan bermodalkan gerobak atau karung yang disangkutkan di pundak dan besi panjang yang ujungnya melengkung lancip. Kardus, kertas koran, plastic, botol, atau barang bekas yang layak dijual menjadi komoditasnya. Tak perduli panas atau hujan, mereka berjalan menyusuri sudut kota, entah perumahan, pinggir kali atau gang-gang sempit hanya untuk memungut apa yang diharapkan. Buat kita barang-barang diatas adalah sampah ketika sudah tidak digunakan, tapi buat mereka, itu bagaikan sebuah ‘emas’ yang layak untuk bisa dijual.
Sebut saja Pak Udin (43), memulung dari mulai usia 10 tahun. Memulai pekerjaan ini saat sebutannya masih “Tukang Beling” hingga sekarang. Bukan tak ada pekerjaan lain, tapi keterbatasan serta kemampuannya yang akhirnya ia harus menjalankan profesi ini. Suka duka tentu sudah dialami oleh pria beranak dua dalam menjalankan pekerjaannya. Masa keemasan pun pernah dialaminya. Ketika saat dulu, pemulung tidak begitu banyak, sementara ‘sampah-sampah’ begitu bertebaran hingga membuat dirinya saat itu ‘panen’ setiap saat. Bandingkan dengan sekarang, pemulung begitu banyak, dan tentu saja ini makin mempersempit wilayah memungutnya. Jam 4 pagi hingga jam 8 malam , adalah jam kerja wajib buat mereka. Dimulai dengan memulung sampah di berbagai wilayah, siang kembali ke lapak untuk merapikan hasil pungutannya, lalu kemudian setelah ditimbang untuk kemudian dijual. Istirahat sebentar melepas lelah sembari bersiap-siap untuk menyusuri kembali jalan-jalan yang mungkin sudah menjadi target berikutnya. Jam 5 sore kembali lagi ke lapak, membereskan dan menjual hasil pungutannya hingga jam 8 malam. Begitulah hidup, buat mereka tak ada istilah makan siang gratis (mengharap belas kasihan), semua harus diusahakan untuk bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Lain lagi dengan Babe Joni, pria berusia 62 tahun ini masih terlihat tegap dan sigap mendorong gerobaknya hinggal puluhan kilo meter untuk mencari sesuap nasi dengan memulung. Pernah menjadi supir pribadi, entah karena apa, akhirnya ia memilih profesi ini di masa tuanya. Di komunitas mereka, ada istilah pemulung sejati. Dalam artian pekerjaan memang memulung, bukan “mencari kesempatan” dengan berkedok pemulung atau bahkan mengiba-iba dengan gerobak serta anak-anak kecil tertidur dipinggir jalan berharap belas kasihan dari orang yang melihatnya. Buat mereka memulung adalah pekerjaan halal, bukan mencuri. Pendapatan yang sedikit entah banyak, buat mereka selalu diterima dengan apa adanya. Pasrah dengan keadaan bukan berarti mereka tidak berusaha. Sekuat tenaga, mereka mengais rejeki dari sampah, hanya untuk memberikan yang terbaik buat keluarganya. Telapak kaki dan tangan yang mengeras seolah menggambarkan betapa kerasnya kehidupan Kota Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)