|
Suatu Pagi di Desa Sembungan Dieng |
Ini adalah lanjutan dari postingan beberapa hari lalu tentang
Senandung Langkah Kaki di Bukit Sikunir. Pada tulisan kali ini, penulis sebenarnya hanya ingin menambahkan beberapa catatan ketika penulis harus meninggalkan Dataran Tinggi Dieng ini. Sempat berdiri dan mengamati Bukit Sikunir dari kejauhan. Seolah kaki enggan untuk beranjak pulang. Ternyata jika pagi menjelang dan udara cerah, kawasan ini cuacanya begitu hangat. Seolah terlupa bahwa malam hingga hari hampir pagi, suhu tidak begitu kompromi dengan penulis. Dingin yang menusuk semalam, ternyata
berganti menjadi sebuah kehangatan saat pagi menjelang. Keramiaan diatas Bukit Sikunir masih terus berlangsung. Beberapa pengunjung masih asik terus berselfie ria. Berbagai gaya dengan background keindahan yang ada, seolah tak ingin dilewatkan begitu saja. Dan yang membuat takjub penulis, ada pengunjung temuda yang penulis temui.
|
Menuruni Bukit Sikunir, ada pengunjung termuda. |
Seorang bayi yang digendong oleh bapaknya. Tertidur lelap dalam dekapan bapaknya ketika menuruni bukit. Ketika turun dari Bukit Sikunir pun, suasana begitu ramai. Bahkan penulis sempat memotret keramaian sebuah "pasar" makanan, lalu beberapa seniman mempertontonkan kebolehannya. Makin mendekati kawasan gerbang utama, suasana kian ramai. Banyak penjual makanan yang berderet rapi di tepi jalan. Dan tentu saja makanan favorit di hawa yang cukup dingin ini, apalagi kalau bukan makanan dan minuman yang hangat. Sebut saja makanan rendang kentang, gorengan tahu, tempe, mie instan, kopi, wedang jahe. Banyak pilihan. Semakin mendekati area pintu gerbang, tampak dari kejauhan Danau Cebongan menghampar berpadu dengan bukit yang sisinya dijadikan sebagai area perkebunan. Belum lagi tepian danau yang dijadikan sebagai tempat berkemah. Penulis terus berjalan kaki menjauh dari area Bukit Sikunir. Sesekali menoleh kebelakang. Begitu megah berdiri bukitnya, membawa pesona tersendiri. Seolah ada magnet yang menarik kaki, agar tak pulang lekas-lekas.
|
Pasar di Bukit Dua, tempat melepas lelah sembari menikmati makanan yang dijual |
|
Bukit Sikunir Dari Kejauhan |
Desa Sembungan adalah desa tertinggi di tanah Pulau Jawa, berada di sekitar 2000an meter diatas permukaan laut. dan konon permulaan kehidupan masyarakat Dataran Tinggi Dieng bermula dari desa ini. Hingga akhirnya sekarang menyebar hingga keseluruh wilayah Dieng.
|
Telaga Cebongan |
Masyarakat setempat pun begitu ramah, layaknya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Bertani dan berkebun adalah menjadi pekerjaan utama bagi warga sekitar. Dan saat ini semakin terkenalnya lokasi wisata Dieng, tentu saja ada tambahan pendapatan bagi warga sekitar. Ada yang berjualan makanan, souvenir, menjadi tukang ojek, penyewa tenda, penyewa homestay. penyedia rental motor dan mobil. Imbas dari sebuah kemajuan. Namun mereka tetap tak pernah melupakan adat serta menjunjung tinggi budaya yang ada. Buat mereka adat dan budaya adalah peninggalan para leluhur. Kemajuan yang ada tidak serta merta menggilas apa yang pernah mereka lakukan terhadap adat dan budaya. Contohnya saja, adanya upacara saat musin tanam, musim panen, belum lagi upacara pemotongan rambut anak Gimbal. Namun kita sebagai pengunjung terkadang lupa. jika singgah disuatu tempat seperti ini, seolah kita sudah bisa "menaklukan" alam. Seolah dengan membayar retribusi yang ketika memasuki wilayah ini, kita bisa berbuat seenaknya. Membuang sampah, mencorat coret tulisan "kekinian" yang mensimbolkan sebuah eksistensi, belum lagi dipetiknya beberapa bunga yang justru dilindungi.
|
Dieng Tak Pernah Ingkar Janji |
Seharusnya kita sebagai pengunjung tempat wisata alam (entah dimana saja), tersadar bahwa kita sedang dihadapkan oleh Kebesaran Sang Pencipta. Kebesaran yang seharusnya membuka mata kita lebar-lebar, bahwa betapa kecilnya kita. Yang kemudian kita bisa praktekan kepada kehidupan sehari-hari sepulangnya kita dari sana. Dan Dieng selalu menawarkan berbagai keindahan yang tiada tara. Dari segala sisi, dari segala sudut, Dieng tetap menawan. Cobalah pembaca berkunjung ke Dieng. Entah Dieng P'rau, Dieng Platu, Telaga Warna, Telaga Pengilon, Kawah Sikidang, Curug Sikarim. Semuanya menawarkan keindahan sendiri-sendiri yang selalu mengundang kita untuk kembali datang kesana. Karena penulis yakin bahwa Dieng tak pernah ingkar janji untuk memberikan keindahannya.
|
Diatas Bukit Sikunir |
Terima kasih Dieng, untuk segala pembelajaran alamnya.
Teks dan Foto :
Farid S
Baca Juga :
Senandung Langkah Kaki di Bukit Sikunir
Perjalanan Penulis di Tempat Lain
No comments:
Post a Comment