Tiga jam sebelum melaksanakan pemotretan di Kota Surabaya, penulis mengisi waktu luang dengan menyusuri sudut kota Surabaya. Kota ini sebenarnya tak berbeda dengan Kota Jakarta. Sama-sama kota besar, padat, panas dan saat ini ditambah dengan kemacetan lalu lintas yang luar biasa. Semenjak dipimpin oleh Walikota Tri Rismaharini, kota ini berbenah cukup banyak. Penataan kota yang rapi serta lebih banyaknya fasilitas umum yang diperbaiki, seperti misalnya pembersihan sungai, pengadaan taman hijau, serta penataan perkampungan-perkampungan agar tidak tampak kumuh pun dilakukan.
Perjalanan siang itu dimulai dari depan Stasiun Pasar Turi. Pagi tampak cerah. Aktifitas masyarakat pun sepertinya baru dimulai.
Depan Stasiun Pasar Turi Surabaya |
Para pedagang seperti biasa memulai pagi itu dengan menggelar dagangannya. Penulispun menuju sebuah warung kopi yang tak jauh dari stasiun (Satu hal yang selalu penulis lakukan bila baru tiba di daerah adalah mencoba berinteraksi dengan penduduk setempat di warung kopi). Dengan berkomunikasi dengan masyarakat setempat, setidaknya kita juga jadi lebih dekat dengan mereka. Bahkan menuju tempat-tempat yang tak terpikirkan bisa menjadi pegangan buat kita. Karena dari obrolan sembari minum kopi, kita bisa tahu berbagai informasi yang kita butuhkan. Seperti saat itu, ternyata pemilik warung kopi yang bersuamikan tukang becak dengan ramah menjawab berbagai pertanyaan penulis. Bahkan ketika kopi pagi hampir habis, tak lama suaminya kebetulan pas pulang, dan menawarkan untuk mengantarkan kemana penulis mau. Penulis saat itu mengutarakan ingin berkeliling Kota Surabaya tapi bukan tujuan ke tempat-tempat wisata atau tempat yang ramai dikunjungi wisatawan. Penulis ingin melihat dari dekat keseharian penduduk setempat.
Berangkat Kerja |
Dan perjalanan dengan becak pun dimulai. Pak Jo (55 tahun) pun mengayuh becaknya menuju sebuah perkampungan yang tak jauh dari Stasiun Pasar Turi. "Mas, jaketnya dipakai saja, soalnya Surabaya panas, nanti hitam kulitnya" seru Pak Jo. Aduuh Pak...kulit saya perasaan sudah hitam. Tapi akhirnya penulis turuti perintah Pak Jo. Memang betul-betul panas saat itu, padahal jam baru menunjukan jam 9 pagi. Duduk diatas becak berjalan, penulis mencoba menebar pandangan. Tak lama kemudian becak sudah memulai memasuki perkampungan. Hmmm....tak jauh beda dengan Jakarta. Padat. Namun ada satu hal yang membuat berbeda. Penataan kampungnya. Sungguh jauh berbeda.
Harap Turun peraturan bagi pengendara motor dan sepeda |
Menyusuri gang-gang sempit. Betul, sempit. Tapi hati berdecak kagum dengan penataan yang dilakukan oleh warga setempat. Jalan yang sebenarnya berbentuk gang itu, dipenuhi oleh berbagai tanaman yang ditanam dalam pot oleh warga setempat. Dan hampir setiap gang yang ada dipenuhi dengan berbagai tanaman. Ini sebenarnya banyak juga hal seperti ini diberbagai daerah berpenduduk padat di Indonesia. satu intinya, kesadaran dari setiap rumah untuk membuat gang tersebut menjadi rindang dengan menanam pohon berbagai jenis dalam pot. Lalu juga terpampang sebuah peraturan, yang naik motor harus turun dan menuntun motornya jika memasuki gang-gang tersebut. Ahh...seandainya itu bisa diberlakukan di Jakarta. Tentu lebih tertib juga. wilayah yang bernama Margorukun Kelurahan Gundih ini, ternyata pernah menyandang sebagai Kampung Terbaik Kota Surabaya.Terbaik dalam hal penataan, terbaik dalam penghijauan wilayah hunian, terbaik dalam pengolahan limbah sampah plastik. Bahkan prestasi ini diraih berkali-kali.
Aktivitas dilingkungan yang asri |
Menurut warga setempat, banyak sekali kunjungan dari berbagai daerah menuju kampung ini. Namun untuk tahun-tahun ini kunjungan tersebut sudah agak mulai berkurang. Sebut saja Gang Margorukun VI RT 07 RW 10. Dua tahun lalu, gang ini bahkan bisa menghasilkan pendapatan untuk kas RT setempat sendiri. Yaitu setiap orang yang berkunjung ke gang ini, diwajibkan membeli hasil kerajinan tangan warga yang terbuat dari limbah plastik. Tapi sayang, sekarang-sekarang ini, seiring dengan pergantian ketua RT setempat, hal-hal diatas mulai agak berkurang. Kurangnya kunjungan, dan kurangnya kegiatan-kegiatan ibu-ibu PKK membuat kerajinan tangan tersebut.
Pintu Gerbang Gang Margorukun RT 7/10 |
Salah satu ucapan di mulut Gang Margorukun VI |
Puas melihat-lihat wilayah ini, penulis menuju becak Pak Jo. yang sudah menunggu di mulut gang. "Kemana lagi Mas ?" Tanyanya. "Pak Jo mau bawa aku kemana ?" penulis balik bertanya sambil tersenyum. Dikayuh lagi becaknya menyusuri sudut-sudut wilayah lain. Menyusuri jalan besar, yang saat ini sudah dipenuhi oleh beberapa mal baru, Surabaya betul-betul berbenah diri. Lalu lintas yang siang itu belum terlalu padat, dipenuhi berbagai macam kendaraan namun taat peraturan. Seperti diwilayah lain di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Namanya lampu merah ya berhenti, berhenti persis di belakang zebra cross. Tak seperti di Jakarta, lampu merah malah nyelonong tanpa memperdulikan pengendara yang giliran lewat. Tak ada bunyi klakson dari pengendara motor yang merasa terhalangi oleh pengendara motor didepannya minta minggir, padahal lampu masih merah (pengalaman pribadi jika naik motor di Jakarta).
Angkut Kerupuk |
Itulah sekelumit perjalanan menyusuri sudut-sudut kota di Surabaya. Memang Surabaya sedang berbenah. Hal yang paling tentu akan diingat oleh warga setempat bahkan mungkin oleh Indonesia, adalah begitu beraninya Walikota Risma (panggilan dari Tri Rismaharini) menutup lokalisasi terbesar di Indonesia, yaitu Dolly. Itu mungkin salah satu dari sekian banyak pembenahan diri yang dilakukan oleh Surabaya. Dan sepertinya seluruh wilayah di negeri ini pun sedang berbenah. Berbenah untuk lebih baik. Berbenah demi warga dan masyarakat serta penduduknya. Sudahkah kita berbenah ?
Salah satu sudut daerah Dolly yang saat ini sudah berbeda. |
Foto dan Tulisan : Farid S
No comments:
Post a Comment