menunjukan beberapa foto, ada foto yang membuat penulis agak terkisap. Ia menunjukan foto yang penulis sangat suka, yang justru jauh-jauh sebelum ketemu almarhum (sekitar 19 tahun sebelumnya), bahkan ketika itu penulis malah baru-barunya belajar memotret (sekarang juga masih belajar sih). Bahkan sampai memikirkan "ini gimana caranya bisa motret seperti ini ya ?". Penulis saat itu hanya tahu nama fotografernya, Julian Sihombing, foto tersebut dimuat di Harian Kompas. Lalu, ia juga menunjukan foto yang juga bikin penulis kagum, foto yang membuat suhu politik semakin panas dengan teriakan reformasi semakin menjadi. Foto yang membuat "gerah" bagi yang melihatnya. Foto yang membuat para mahasiswa semakin bersemangat untuk melakukan reformasi ketika foto tersebut menjadi headline di surat kabar Harian Kompas. Yah, sebuah foto yang menggambarkan seorang mahasiswi Trisakti sedang tergeletak saat terjadi bentrok antara petugas dengan mahasiswa.
Dan Julian Sihombing, sang pembuat foto tersebut ada dihadapan penulis ketika itu. Bertemu dengan dirinya, membuat arti fotografi semakin luas. Bahwa fotografi tak sekedar memotret, bahwa ternyata jam terbang dalam memotret itu sangat menentukan untuk menjadi seorang fotografer. Karena menurut almarhum, jam terbang itu bisa mematangkan jati diri si fotografer, dengan jam terbang yang tinggi, seorang fotografer akan mampu melihat sebuah kesempatan dalam setiap moment yang akan dibidiknya. Ah, begitu banyaknya arti fotografi setelah mendengar keterangan beliau. Keterangan yang cukup lugas. Bahkan ia menambahkan bahwa menjadi fotografer itu harus banyak membaca, membaca dan membaca. Karena dengan banyak membaca berarti kita jadi belajar, membaca dalam artian luas, ini kalimat yang dituturkan beliau saat itu " “Mari kita bicara tentang belajar fotografi, bahwa walau tidak semua tapi masih banyak pemula atau orang yang baru belajar fotografi lebih mengutamakan omongan senior (jika di klub foto atau komunitas), pembicara (jika di workshop atau klinik fotografi) atau bahkan guru (jika di sekolah fotografi), saya tidak mengatakan ini salah” terangnya. Namun yang disayangkan begitu mendengar apa yang dibicarakan oleh si senior, guru atau pembicara mengenai fotografi mereka tidak ada keinginan untuk lebih mengembangkan lagi dengan membaca, karena menganggap bahwa yang sudah diajarkan tersebut adalah hal-hal yang baku dalam ilmu fotografi. Jika ini memang demikian, maka akibatnya akan tumbuh duplikat-duplikat ilmu dari senior, guru atau pembicara (ilmu yang turun temurun), tanpa ada pengembangan kearah perubahan dalam dunia fotografi. Ini yang disayangkan, jelas ayah dari Dian Namora dan Luna Nauli.
Polisi sedang menolong saat terjadi kecelakaan disebuah jalan raya di Madiun. Kecelakaan terjadi karena tiba-tiba as roda pedati patah |
Penuh semangat dan mau berbagi pengalaman serta mudah sekali akrab dengan orang lain, adalah salah satu karakter beliau. Selain itu, sikap yang tegas selalu ditunjukan beliau dalam keseharian dan juga ketika sedang memotret. "Ketika para fotografer memotret dalam suatu liputan acara dan kebetulan saya ada di acara liputan tersebut, saya tidak akan gabung dengan mereka, karena saya ingin foto saya berbeda dengan yang lain, masa iya, seluruh foto di harian surat kabar yang terbit besok, fotonya sama semua (dari sisi angle, maksudnya)". Dirinya lebih mencari angle yang berbeda, bahkan angle yang terpikirkan oleh fotografer lain.
Foto Karya Julian Sihombing. Pesenam dari Korea Utara sedang berlaga pada Asian Games XI di China. Foto ini hasil repro penulis dari Buku Split Second, Split Moment halaman 201. |
Bahkan ketika dirinya memotret Presiden Soeharto sedang mengusap air mata dengan sapu tangan saat Ibu Tien wafat juga menjadi "sesuatu" yang berbeda. (Siapa sih yang berani, ketika di era Soeharto berkuasa, memotret moment seperti itu ?). Walau foto tersebut saat itu tidak menjadi berita foto di harian surat kabar tempatnya bekerja, karena memang saat itu rezim yang berkuasa (pasti) tidak akan memberi izin. Tapi, Julian Sihombing mampu merekam moment tersebut, karena setidaknya dia juga merasakan kesedihan yang mendalam yang dialami Sang Presiden saat itu.
Foto Karya Julian Sihombing. Surakarta, April 1996, di Ndalem Kalitan |
Pada tulisan diatas, penulis mengatakan bahwa ada foto dari Julian Sihombing yang membuat penulis begitu tertarik dan bertanya bagaimana cara membuat foto ini. Sebuah foto yang menggambarkan moda transpotasi kereta api kala itu. Ternyata proses membuat foto ini tidaklah semudah yang dibayangkan, bahkan dibutuhkan riset berkali-kali. Mulai dari waktu pemotretan, cara naik gerbong, peralatan foto apa yang harus dibawa selain kamera, bahkan hal-hal untuk menjaga keselamatan diri ketika memotret betul-betul diperhitungkan dalam memotret moment tersebut. Julian Sihombing harus memakai harness (tali pengaman) yang dikaitkan pada gerbong kereta ketika memotret. Dan foto berjudul Jakarta, Agustus 1991 inilah yang dimaksud.
Foto Karya Julian Sihombing, Jakarta, Agustus 1991. Foto yang diambil diatas Kereta Api Jurusan Jakarta-Rangkasbitung ini menggunakan Film Kodak T-Max 400 BW. Eksposure di f;22 1/8 |
Rasanya begitu melimpah yang penulis dapat ketika bertemu fotografer yag sudah mendapat banyak penghargaan ini, salah satunya adalah Pemenang Pertama Piala Adinegoro tahun 1991. Rasanya begitu banyak nasihat dan pengetahuan yang menjadikan penulis harus lebih banyak belajar lagi. Tidak hanya sekedar fotografi, tapi belajar pada hal-hal lain. Penulis tak menyangka bahwa pertemuan untuk wawancara tersebut ternyata adalah pertemuan terakhir dengan dirinya. Karena komunikasi yang terjadi hanya sekedar via sms dan telpon saja setelahnya. Bahkan ketika dirinya jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit di Singapura, justru penulis dapat dari beberapa teman fotografer. Dan pada 14 Oktober 2012, fotografer yang seangkatan dengan Franky Hadi, Sunyoto, dan Oscar Motulah akhirnya ini meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Hanya bisa berdoa untuk segala apa yang telah beliau lakukan untuk dunia fotografi Indonesia. Terima kasih untuk segala pengetahuan, pengalaman, nasihat dan segala hal yang telah diberikan. Dan penulis akan terus ingat sampai detik ini, ketika dirnya memberi nasihat "Fotografi itu bukan sekedar teknik, tapi harus ada rasa. Karena kadang ada foto secara teknis bagus, namun jika tidak ada empati atau rasa, bisa dikatakan foto itu kosong. Ia juga mengatakan, proses dikala ia memotret, justru bukan berawal dari kamera, tapi dari sebuah rasa terlebih dahulu yang ujungnya (proses akhirnya) baru berada di kamera". Dan penulis rasa, nasihat itu tidak hanya ditujukan untuk penulis tapi untuk para fotografer Indonesia. Semoga tenang disana Om Jul.
Tulisan tentang Julian Sihombing pernah penulis buat untuk Rubrik Profil di Majalah Chip Foto Video edisi Desember 2010. Dan foto-foto diatas adalah hasil karya Julian Sihombing yang diberikan penulis untuk bahan tulisan wawancara. Beberapa foto diatas juga dimuat di bukunya yang berjudul " Split Second, Split Moment"
Teks : Farid S
No comments:
Post a Comment